Saturday, 29 October 2022

Cara Mengurus Perceraian di Luar Negeri, Begini Cara-nya

 

Tips Untuk Mengurus Perceraian di Luar Negeri

Pada waktu ini, tidaklah sedikit Warga Negara Indonesia (WNI) yang bertempat tinggal atau bermukim di luar negeri, baik itu untuk keperluan pendidikan, bekerja ataupun urusan lainnya. Pada saat berada jauh di negeri orang tersebut, banyak hal yang bisa saja terjadi, salah satu di antaranya adalah perceraian. lalu bagaimanakah cara-nya mengurus perceraian di luar negeri bagi pasangan yang membutuhkannya...?

Baca juga : Menikah-lagi-tanpa-se-izin-Istri-Pertama-bisa-Dipidana.

Beberapa Alasan Perceraian yang Diterima Pengadilan

Sebelum anda memutuskan untuk bercerai, pastikan dulu bahwa alasan perceraian tersebut masuk akal dan akan diterima oleh Pengadilan nantinya. jangan sampai dalam prosesnya nanti perceraian anda tidak berjalan dengan lancar, karena dari pihak pengadilan tidak melihat, membaca urgensi (keharusan yang mendesak) untuk memutuskan perceraian dari alasan yang telah diajukan. 

Melihat, mengoreksi dan meneliti kebelakang dari beberapa kasus perceraian yang sudah terjadi, ada beberapa alasan yang bisa memperlancar proses perceraian. alasan tersebut misalnya seperti perselisihan rumah tangga yang terus menerus terjadi, suami meninggalkan istri atau sebaliknya, hingga kekerasan dalam rumah tangga. gugatan cerai dengan alasan-alasan tersebut pada umumnya dikabulkan oleh pengadilan. 

Beberapa Prosedur Perceraian Bagi Pasangan yang Tinggal di Luar Negeri

Hingga waktu ini sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan, perceraian atas suatu perkawinan harus diputuskan oleh Pengadilan, yakni Pengadilan Agama di Indonesia. adapun ketentuan mengenai pasangan, yakni Penggugat dan Tergugat, yang tinggal di luar negeri dan ingin melakukan perceraian, telah diatur dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989 pada Pasal 66 ayat (4). ketentuan tersebut mengatur baik perceraian atas perkawinan yang dilakukan di dalam negeri dan juga luar negeri. silahkan simak beberapa penjelasan di bawah ini : 

Menentukan Jenis Pengadilan 

Apabila anda beragama Islam dan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA), maka gugatan diajukan di Pengadilan Agama. Sedangkan apabila anda menikah secara non-muslim dan dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DUKCAPIL), maka gugatan diajukan di Pengadilan Negeri. 

Menentukan Pengadilan Daerah Mana Mengajukan Gugatan Cerai

Untuk Mereka yang Beragama Islam dan Menikah di KUA.

1. Apabila istri bertempat tinggal di luar negeri, gugatan cerai diajukan ditempat tinggal suami di Indonesia. (Pasal 63 ayat (3) Jo. Pasal 73 ayat (2) UU Peradilan Agama). 

2. Apabila pihak suami dan istri bersama-sama tinggal di luar negeri, gugatan cerai diajukan ke Pengadilan yang daerah hukum dimana melangsungkan perkawinan atau di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. (Pasal 63 ayat (4) Jo. Pasal 73 ayat (3) UU Peradilan Agama).  

Untuk mereka yang beragama non-muslim dan menikah di kantor DUKCAPIL.

Dalam hal Tergugat (Suami/ Istri) bertempat tinggal di luar negeri, maka gugatan cerai diajukan ditempat tinggal Penggugat (Suami/ Istri). (Pasal 60 ayat (2) PP Pelaksana UU Perkawinan). 

Dalam prakteknya, untuk tempat tinggal Penggugat dapat ditentukan sesuai KTP Penggugat. sebagai contoh saja : Walaupun Penggugat saat ini bertempat tinggal/ berdomisili di luar negeri, namun tempat tinggal Penggugat dapat ditentukan melalui alamat KTP-nya. 

Mengurus Gugatan Cerai Dari Luar Negeri Dapat Diwakili Pengacara Tanpa Harus Hadir Secara Langsung

Pada dasarnya gugatan cerai dapat diajukan secara mandiri atau diwakili oleh Pengacara/ Advokat sebagai kuasa hukumnya. 

Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pelaksana UU Perkawinan : 

"Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik Penggugat maupun Tergugat atau Kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut." 

Dan apabila Penggugat tidak dapat hadir langsung untuk mengikuti proses persidangan dikarenakan berada di luar negeri, maka Penggugat dapat diwakili langsung oleh Kuasa Hukum/ Pengacaranya dengan tetap mengikuti prosedur hukum yang berlaku. 

Prosedur hukum yang dimaksud adalah " Surat Kuasa" yang dibuat diluar negeri wajib dilegalitasi oleh pejabat yang berwenang atau dalam hal ini KBRI setempat. 

Adapun dasar hukum legalitasi Surat Kuasa oleh pejabat yang berwenang adalah sebagai berikut : 

Poin 68 Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/Kp/XII/2006/01, tertanggal 28 Desember 2006. 

"Legalisasi artinya pengesahan terhadap dokumen dan hanya dilakukan terhadap tanda tangan dan tidak mencakup kebenaran isi dokumen. setiap dokumen Indonesia yang akan dipergunakan di negara lain atau dokumen asing yang akan dipergunakan di Indonesia perlu di legalisasi oleh Instansi yang berwenang."

Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 18 September 1986 Nomor 3038 K/Pdt/1981 yang menyatakan bahwa : 

"Keabsahan surat kuasa yang dibuat di luar negeri selain harus memenuhi persyaratan formil juga harus dilegalisir lebih dahulu oleh KBRI setempat." 

Baca juga: Tips-hukum-celaka-karena-jalanan-rusak.

Persyaratan Yang Perlu Dipersiapkan Mengurus Perceraian di Luar Negeri

Diantarannya adalah : 

1. Surat Kuasa yang dilegalisir oleh KBRI;

2. Buku Nikah untuk Muslim/ Akta Perkawinan dari Dukcapil untuk Non-Muslim;

 3. Sertifikat Perkawinan dari Pemuka Agama untuk Non-Muslim;

4. KTP Penggugat;

5. Identitas Tergugat;

6. Siapkan 2 (dua) orang saksi;

Berikut adalah beberapa ulasan Cara dalam mengurus perceraian di luar negeri, semoga bermanfaat!!

Sumber : 


Labels: ,

Tuesday, 25 October 2022

Kasus pembagian harta bersama dan penyelesaiannya


Akibat perceraian yang paling mendasar dirasakan oleh pasangan suami-istri itu biasanya terdapat dua hal yakni akibat terhadap harta gono-gini (harta bersama) dan anak-anak yang telah dilahirkan dari perkawinan tersebut. untuk itu dalam pembahasan kali ini kita akan sedikit banyak mengupas yang terkait dengan pembagian harta gono-gini.

Baca juga : Contoh kasus Pelaku penyebab kecelakaan kabur/ lari, ancaman hukuman lebih berat

A. PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI 

Apa harta gono-gini itu?

Harta gono-gini dalam sitilah hukum juga disebut sebagai harta bersama. harta gono-gini adalah harta bersama baik harta bergerak (mobil, motor, saham, dan lain-lain) maupun harta tetap (tanah, rumah, dan lain-lain) yang diadakan selama dalam masa perkawinan. yang tidak termasuk dalam harta gono-gini adalah harta warisan, hadiah, dan hibah dari orang tua masing-masing yang disebut harta bawaan. harta bawaan ini akan menjadi milik masing-masing suami atau istri itu sendiri, kecuali dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak bahwa harta-harta bawaan akan dimiliki sebagai harta bersama. jadi sejak dimulainya tali perkawinan dan selama perkawinan berlangsung, berlaku percampuran harta kekayaan suami dan istri, baik harta bergerak dan tak bergerak baik yang sekarang maupun yang kemudian ada (harta bersama ini telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun  1974 Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37). 

Percampuran harta bersama ini dipahami dari sebuah pemahaman bahwa perkawinan itu adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini berarti bahwa antara suami-istri terdapat ikatan yang erat sekali, yang meliputi tidak hanya ikatan lahir, tetapi meliputi ikatan jiwa, batin, atau ikatan rohani.

Menurut Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974, harta bersama suami-istri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang di antara mereka (cerai mati) maupun karena perceraian (cerai hidup), Dengan demikian, harta yang dipunyai pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama. 

Seiring dengan pengertian harta bersama perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KUHperdata, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur pengertian tentang harta bersama yang sama seperti dianut dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata di atas. Diistilahkan dengan nama "Syirkah" yang berarti harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. 

Lantas bagaimana menentukan pembagian harta Gono gini..?

Pembagian harta gono-gini akibat dari adanya perceraian, cara pembagian biasanya adalah dengan membagi rata, masing-masing (suami-istri) mendapat 1/2 (setengah) bagian dari harta gono-gini tersebut. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 97 dan selaras dengan ketentuan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dan harta bersama ini tidak dapat disamakan dengan harta warisan, Karena harta warisan adalah harta bawaan, bukanlah harta bersama. Oleh sebab itu, harta warisan tidak dapat dibagi dalam pembagian harta gono-gini sebagai akibat perceraian. 

Jadi apabila anda akan meminta bantuan hukum terkait/ Pengadilan Agama beserta perkara perceraian, maka dalam surat gugatan atau surat permohonan dicantumkan sebagai tuntutan (petitum) dalam gugatan itu. Juga disebutkan apa-apa saja yang menurut anda termasuk dalam harta bersama berdasarkan definisi di atas. Anda juga sebaiknya menyiapkan bukti-bukti kepemilikan harta itu baik sertifikat tanah, bukti kepemilikan kendaraan bermotor, surat saham dan surat berharga lainnya, deposito/ tabungan bank serta bukti kuitansi pembayaran atau apapun yang bisa menjadi bukti akan kepemilikan suatu harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan dengan suami/istri anda.

Namun memang biasanya Pengadilan Agama akan menyarankan kepada pihak yang akan berperkara cerai yang ada masalah dengan harta perkawinan untuk terlebih dahulu mengajukan gugatan/ permohonan cerainya dulu. Jadi perkara cerai sebagai perkara pokok ini agar diberi keputusan hakim terlebih dahulu. Baru kemudian setelah perkara cerai telah selesai, baru diajukan lagi gugatan terkait harta bersama yang dimiliki oleh mantan suami-istri itu.  

Kenyataan bahwa penyelesaian perceraian menjadi lama karena terkait dengan harta ini memang menjadi sebuah hal yang wajar. Harta menjadi bagian yang penting apalagi bagi suami-istri yang sedang berselisih. Sehingga menjadi kesadaran bahwa masalah harta bersama biasanya perkaranya dipisahkan (split) dengan gugatan pokok cerai. Namun hal yang lebih mudah untuk diselesaikan terkait dengan harta bersama ini adalah apabila suami-istri itu dapat menyelesaikan di luar Lembaga Pengadilan Agama yaitu dengan cara melakukan musyawarah sendiri. Hal ini tentu saja tidak melanggar hukum, bahkan merupakan solusi terbaik atas kemelut terhadap harta bersama. Sebenarnya disisi lain atas permasalahan harta gono-gini ini bisa menggunakan alternatif lain nya seperti dibagi atas dasar kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak (suami-istri) yang bercerai itu, atau bahkan bisa dibagi menurut persentase masing-masing pihak jika diketahui jumlahnya. Dengan melakukan perdamaian ini, misalnya : suami-istri sepakat membagi harta dengan persentase suami mendapat sepertiga, sedangkan istri mendapat dua pertiga, atau sebaliknya. Sepanjang telah disepakati dalam perdamaian. Jadi, tidak wajib masing-masing mendapat setengah, tetapi masing-masing mendapatkan bagian sesuai dengan kesepakatan yang terjadi dalam perdamaian. Untuk perdamaian atau kesepakatan ini bisa dibuat suatu perjanjian di depan notaris sebagaimana perjanjian perdata terkait harta benda. 

Baca juga : 

Tips%20hukum%20bagaimana%20nih%20jika%20salah%20satu%20pihak%20tidak%20ingin%20bercerai.

Sumber: 

Tentang tata cara gugatan cerai, pembagian harta gono-gini, dan hak asuh anak. Hal 142, bab VI. Oleh Adib Bahari, S.H., S.H.I

https://pengacaraperceraian.xyz/tag/contoh-kasus-harta-gono-gini/

Labels: ,

Sunday, 23 October 2022

Menikah lagi tanpa se-izin Istri Pertama bisa Dipidana Lo


Belakangan ini sering terjadi pernikahan siri yang dilakukan oleh suami secara diam-diam atau tanpa persetujuan istri pertama. biasanya tanpa di duga, si suami tersebut ingin menceraikan si istri dengan alasan telah melakukan pernikahan siri dengan perempuan lain. Padahal menurut hukum perkawinan, bagi suami yang ingin melakukan poligami atau beristri lebih dari satu, wajib mendapatkan persetujuan dari istri pertama. Maka ia wajib untuk meminta persetujuan istri pertamanya terlebih dahulu.

Akibat hukumnya atas perkawinan kedua yang dilakukan oleh suami tanpa se-izin istri pertama adalah cacat demi hukum sehingga akan mengakibatkan batal demi hukum sehingga dianggap tidak pernah ada. 

Baca juga : Yok-pahami-tips-dalam-melaporkan-tindak-Pidana-ke-Polisi.

Hal ini berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan instruksi presiden (Inpres) nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam (KHI), yang berbunyi sebagai berikut: 

Pasal 4 ayat (1) UU perkawinan : "Dalam hal suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan daerah tempat tinggalnya."

Pasal 5 UU Perkawinan : (1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:  

a. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. 

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam : 

(1) Beristri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri. 

(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, 

(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang. 

Dalam Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam : 

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-undang No.1 tahun 1974 yaitu : a. Adanya persetujuan istri, b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.


LANGKAH HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN JIKA SUAMI MELANGSUNGKAN PERNIKAHAN KEDUA (POLIGAMI) TANPA IZIN ISTRI PERTAMA 

Apabila suami melakukan pernikahan tanpa persetujuan istri pertama, maka istri dapat melaporkan tindakan suami ke aparat penegak hukum yang berwenang berdasarkan Pasal 279 KUHP menjelaskan sebagai berikut, yang berbunyi : 

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: 

  • Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah menjadi penghalang yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; 
  • Barang siapa mengadakan pernikahan padahal diketahui bahwa pernikahannya atau pernikahan-pernikahan pihak lain menjadi pernikahan yang sah untuk itu;

(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; 

Apabila merujuk pada rumusan di atas, maka ditangkapnya suami oleh pihak kepolisian tersebut kemungkinan besar berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pasal 279 KUHP di atas. 

Suatu syarat supaya seseorang dapat dihukum menurut pasal ini adalah orang itu harus mengetahui bahwa ia dulu pernah kawin dan perkawinan (nikah) itu masih belum dilepaskan. 

Menurut pasal 199 KUHPerdata, suatu perkawinan dapat lepas/ putus jika : 

1. Karena Kematian;

2. Karena seseorang meninggalkannya selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan salah seorang itu dengan orang lain;

3. Karena ada putusan perceraian oleh hakim;


CONTOH PUTUSAN PIDANA POLIGAMI TANPA IZIN ISTRI PERTAMA

Contoh, sebagai rujukan pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1311.K/PID/2000. Dalam kasus ini, diketahui bahwa terdakwa yang sudah beristri menikah lagi untuk kedua kalinya tanpa izin dari istri pertama. (hal.5)

Atas perbuatannya tersebut, Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana "melakukan perkawinan, sedangkan perkawinan yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi" dengan hukuman pidana penjara selama 4 bulan. (hal.6).

Baca juga:

Tips%20hukum%20bagaimana%20nih%20jika%20salah%20satu%20pihak%20tidak%20ingin%20bercerai.


Sumber : 

https://lbh-ri.com/menikah-tanpa-izin-istri-pertama-bisa-dipidana/?amp=1

https://www.hukumonline.com/klinik/a/poligami-tanpa-izin-bisa-dipidana--ini-penjelasannya-lt6229f8fd34dd3

Labels: ,