Tuesday, 28 December 2021

Mengenal masa iddah dalam Hukum Islam

 


Masa iddah muncul pasca perceraian

Dalam hukum Islam, iddah berarti waktu menunggu dan dilarang kawin setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan suaminya. bilangan iddah dimulai sejak adanya penyebab iddah, yaitu talak atau meninggalnya suami. dalam berbagai literatur yang ada dikemukakan bahwa iddah pada prinsipnya terjadi karena dua sebab berikut:

  1. Wafatnya suami baik ia (istri) telah berkumpul dengannya maupun belum berkumpul dengannya. Hal ini berdasarkan (QS Al-Baqarah: 234)
  2. Karena terjadinya perpisahan antara suami istri, baik karena fasakh dengan syarat perpisahan terjadi setelah dilakukan hubungan suami istri. Hal ini didasarkan pada (QS  At- Thalaq: 1)

Dari hal tersebut di atas ada hikmah dalam beriddah ialah supaya rahim istri suci dan bersih dari bekas suami yang pertama, tidak ada lagi kekhawatiran bahwa istri itu hamil dari suaminya yang pertama. dengan demikian, suami yang kedua mengawini perempuan itu dengan hati yang tidak ragu-ragu sehingga jika istrinya melahirkan, ia yakin bahwa anak tersebut adalah anak yang sah. 

1. Macam-macam iddah

Seorang istri, waktu bercerai dengan suaminya dan belum pernah bercampur dengan suaminya, tidak mempunyai masa iddah, berdasarkan (QS A-l-Ahzab: 49), Iddah perempuan yang di tinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari apabila ia tidak hamil, baik ia masih berdarah haid maupun sudah putus haid. berdasarkan (QS Al-Baqarah: 234). bagi istri-istri yang ingin bercerai dengan suaminya dan sudah pernah terjadi percampuran (hubungan suami istri antara keduanya) ada beberapa kemungkinan tentang masa iddahnya. 

a. Iddah perempuan yang masih berdarah haid (atau masih datang bulan), adalah tiga kali haid (datang    bulan). hal ini berdasarkan (QS Al-Baqarah : 228).
b. Iddah perempuan yang telah berhenti (putus) haid atau perempuan yang belum pernah haid karena  masih kanak-kanak, masa iddahnya adalah tiga bulan. ini sesuai dengan ketentuan Allah dalam surat    At-Talaq ayat 4.
c.   Iddah perempuan yang sedang hamil, yaitu sampai perempuan itu melahirkan anaknya.
d. Wanita hamil dan suaminya meninggal dunia. bagi wanita yang sedang hamil dan suaminya meninggal dunia, ada dua kemungkinan masa iddahnya adalah sebagai berikut: 

kemungkinan I : sebagai seorang wanita yang hamil, masa iddahnya ialah sampai ia melahirkan anaknya.
kemungkinan II : sebagai seorang wanita yang suaminya meninggal dunia, masa iddahnya ialah empat bulan sepuluh hari.  
Dari adanya dua kemungkinan ini kebanyakan ulama berpendapat bahwa lama masa iddah wanita hamil dan kematian suami ialah masa yang terpanjang dari masa yang terdapat dari kedua kemungkinan di atas. 

e. Istri ditalak, kemudian suami meninggal

Apabila seorang suami telah mentalak istrinya, kemudian suami tersebut meninggal dunia dalam masa istrinya menjalani masa iddah, istri wajib menjalankan masa iddah wanita yang ditinggal suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari, seandainya talak yang dijatuhkan suaminya adalah talak raj'i (talak satu san dua)


2. Ketentuan ketika iddah

Marwan Ali dalam bukunya Hukum Perkawinan dalam Islam menulis bahwa selama berlangsungnya waktu iddah, bagi (para) istri berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 

a. Istri yang ditalak dengan talak raj'i berhak mendapat nafkah, pakaian dan tempat kediaman dari bekas suaminya, dan bekas suaminya berhak rujuk kepadanya berdasarkan kesepakatan mazhab yang empat.

b. Istri yang sedang hamil yang ditalak dengan talak ba'in  berhak mendapat nafkah dengan segala macamnya, hingga lahir anaknya.

c. Istri yang tidak hamil dan ditalak dengan talak ba' in  tidak berhak mendapat nafkah, menurut syafi'i, Maliki, dan Hambali, dan berhak mendapatkan nafkah menurut Hanafi. 

d. Istri yang dalam iddah karena kematian suaminya tidak berhak mendapatkan nafkah berdasarkan kesepakatan ulama.


3. Hak dan kewajiban Perempuan dalam masa iddah

Dalam berbagai literatur, para ulama fiqih sepakat dalam mengemukakan bahwa ada beberapa kewajiban bagi perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya, sebagai berikut:

a. Perempuan yang sedang menjalani masa iddah tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun melalui sindiran, akan tetapi untuk wanita yang menjalani iddah kematian suami, pinangan dapat dilakukan dengan cara sindiran.

b. Dilarang keluar rumah, jumhur ulama fikih selain Mazhab Syafi'i sepakat menyatakan bahwa perempuan yang menjalani iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti unutuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

c. Menurut kesepakatan ulama fikih perempuan yang menjalani iddah akibat talak raj'i atau dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh nafkah yang dibutuhkan perempuan tersebut. akan tetapi, apabila iddah yang dijalani adalah iddah karena kematian suami, perempuan itu tidak mendapatkan nafkah apa pun karena kematian telah menghapuskan seluruh akibat perkawinan. 

d. Perempuan tersebut wajib berihdad.

Masih bingung soal pernikahan, perceraian, dan masa iddah?

silahkan tinggalkan komentar atau menghubungi via whatsapp



Labels: ,

Sunday, 26 December 2021

Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam?

 


Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam

Perjanjian Perkawinan dapat di buat pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, Materi yang diatur di dalam perjanjian tergantung para pihak-pihak para calon suami, calon istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama dan kepatutan atau kesusilaan. perjanjian perkawinan dalam pasal 45 KHI menyatakan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :


  • Taklik Talak
  • Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam

Dari pasal tersebut jelas bertentangan dengan penjelasan Pasal (29) UU No. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa "yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk Taklik Talak'.


1. TAKLIK TALAK SEBAGAI PERJANJIAN PERKAWINAN

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf e disebutkan bahwa taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang", dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di indonesia taklik talak merupakan semacam ikrar suami terhadap istri yang dinyatakan setelah terjadinya akad nikah. pernyataan ikrar tersebut dalam melakukan kehidupan suami istri nanti bukan sebagai bentuk peringatan atau pengajaran dari suami terhadap istrinya yang Nusyuz. taklik tersebut diucapkan oleh suami berdasarkan kehendak dari istri atau anjuran dari P3NTR atau pegawai pencatat nikah. 


Taklik ada dua macam, yaitu pertama, taklik yag dimaksudkan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. taklik seperti ini disebut taklik dengan sumpah, seperti seorang suami berkata kepada istrinya, "jika kau keluar rumah, engkau tertalak".  syarat-syarat taklik yang perlu diperhatikan sebelum dibuat dan dibacakan sesaat selesai akad nikah, yaitu isinya tidak bertentangan dengan hukum Islam, tertera dengan tegas dan jelas, tetapi tidak boleh tanpa dalam keadaan nyata. sebagai contoh seperti "kalau matahari terbit dari barat, jatuhlah talak saya". pada umumnya taklik itu ditegaskan dengan empat kemungkinan yang dapat menimbulkan talak dan diucapkan setelah ijab kabul dengan lafalnya sebagai berikut :


"Taklik talak akan jatuh sewaktu-waktu saya:

a. Meninggalkan istri tersebut dua tahun berturut-turut;

b. Atau saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;

c. Atau saya menyakiti badan/ jasmani istri saya itu;

d. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya."


Isi dari taklik talak sendiri sebetulnya sudah tercantum dalam lampiran buku nikah yang diterbitkan oleh Menteri Agama, yang bunyinya sebagai berikut : 


"sesudah akad nikah, saya..... bin... berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama..... binti..... dengan baik (mu'asyarah bil ma'ruf) menurut ajaran syariat islam. Selanjutnya, saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya itu seperti berikut.


  • Meninggalkan istri tersebut dua tahun berturut-turut;
  • Atau saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;

  • Atau saya menyakiti badan/ jasmani istri saya itu;
  • Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya;

kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya." 

Naskah taklik talak tersebut perlu diperiksa secara teliti oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 menyatakan sebagai berikut: 

  • Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami istri telah menyetujui adanya taklik talak sebagai dimaksudkan Pasal 11 ayat (3) peraturan ini, suami mengucapkan dan menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akad nikah dilangsungkan. 
  • Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak, setelah akad nikah suami tidak mau mengucapkannya, hal ini segera diberitahukan kepada pihak istrinya. 
2. PERJANJIAN PERKAWINAN MENGENAI HARTA BERSAMA

Perjanjian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan hanya terbatas pada taklik talak saja, tetapi juga menyangkut harta bersama dalam perkawinan. hal yang dimaksud perjanjian perkawinan terhadap harta bersama, yaitu perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah. perjanjian tersebut dibuat oleh calon suami istri untuk mempersatukan harta kekayaan pribadi masing-masing selama perkawinan berlangsung, tergantung dari apa yang disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian. isi perjanjian tersebut berlaku pula bagi pihak ketiga sejauh pihak ketiga tersangkut. 

 Pasal 35 Undang-undang Perkawinan menentukan sebagai berikut: 
  • Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
  • Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 
Melalui perjanjian perkawinan suami istri dapat menyimpangi dari ketentuan-ketentuan Undang-undang Perkawinan di atas dan bila dikehendaki dapat membuat perjanjian percampuran harta pribadi. hal ini dapat dipertegas lagi dalam bentuk:
  • Seluruh harta pribadi baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan berlangsung.
  • Hanya terbatas pada harta pribadi saat perkawinan dilangsungkan  (harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan tetap menjadi milik masing-masing pihak) atau sebaliknya percampuran harta benda pribadi saat perkawinan berlangsung (harta bawaan/ harta pribadi sebelum perkawinan dilangsungkan menjadi milik masing-masing). 
Perjanjian perkawinan yang dimaksud baru dapat dianggap sah apabila memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan, seperti berikut ini:
  • Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 
  • Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. 
  • Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
  • Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Selanjutnya, mengenai perjanjian perkawinan yang menyangkut harta kekayaan Kompilasi Hukum Islam ditentukan sebagai berikut:

Pasal 47

  1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
  2. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian  masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
  3. Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal 48

  1. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
  2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga. 


Labels: