Sunday, 1 January 2023

Proses Pemeriksaan Perkara Pidana, lihat ulasannya



Pemeriksaan perkara pidana berawal dari terjadinya tindak pidana (delict) atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, yaitu berupa kejahatan atau pelanggaran. Peristiwa atau perbuatan tersebut diterima oleh aparat penyelidik, dalam hal ini adalah polri (Polisi Republik Indonesia) melalui laporan dari masyarakat, pengaduan dari pihak yang berkepentingan, atau diketahui oleh aparat sendiri dalam hal tangkap tangan (ambtshalve). Melalui proses yang dinamakan "PENYELIDIKAN", penyelidik menentukan peristiwa/ perbuatan pidana atau bukan.

Jika dalam penyelidikan telah diketahui atau terdapat dugaan kuat bahwa kasus, peristiwa, atau perbuatan tersebut merupakan tindak pidana (delik), maka dapat dilanjutkan pada proses selanjutnya, yaitu "PENYIDIKAN" yang merupakan upaya mengusut, mencari, dan mengumpulkan bukti-bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 

Pada dasarnya pejabat Polri (Kepolisian  Negara Republik Indonesia) adalah penyidik tunggal. Namun, dalam kasus-kasus tertentu dapat dilibatkan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), misalnya kasus-kasus yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perbankan, bea cukai, keimigrasian, dan sebagainya, bahkan dalam hukum acara pidana yang terdapat dalam Undang-undang Tindak Pidana Khusus, misalnya kasus Tindak Pidana Ekonomi, atau Korupsi. Jaksa juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan. Bahkan berdasarkan UU No. 30 tahun 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tertentu. Oleh sebab itu, istilah yang sebenarnya adalah "Polisi  Penyidik Umum".

Baca juga : Seperti-ini-Arti-Relas-Panggilan-Dalam-Sidang


Penyidikan merupakan pemeriksaan pendahuluan/ awal (vooronderzoek) yang seyogianya dititikberatkan pada upaya pencarian atau pengumpulan "bukti faktual" atau bukti konkret. Oleh sebab itu, proses penyidikan sering diikuti dengan tindakan penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat diikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang diduga erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi. 

Berbeda dengan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi yang diperiksa dalam tingkat penyidikan ini tidak perlu disumpah, kecuali jika dengan tegas saksi tersebut menyatakan tidak dapat hadir dalam pemeriksaaan di sidang pengadilan, maka saksi perlu disumpah agar keterangan yang diberikan pada tingkat penyidikan mempunyai kekuatan yang sama seperti jika diajukan di persidangan. 

Hasil pemeriksaan ini dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dijadikan satu berkas dengan surat-surat lainnya. Jika dalam pemeriksaan awal tidak terdapat cukup alat bukti adanya tindak pidana, penyidik dapat menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Namun jika dipandang bukti telah cukup, penyidik dapat segera melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan untuk proses Penuntutan.

Jika perkara telah diterima olek Jaksa Penuntut Umum memandang bahwa berkas perkara masih kurang sempurna atau kurang lengkap atau bukti masih kurang, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan disertai catatan atau petunjuk tentang hal yang harus dilakukan oleh penyidik agar berkas atau bukti tersebut dilengkapi. Proses ini sering disebut dengan istilah "prapenuntutan" dan diatur dalam pasal 138 ayat (2) KUHAP. 

Baca juga : Bisakah-Mengajukan-Gugatan-Cerai-Tanpa-Buku-Nikah.


Jika penuntut umum berpendapat bahwa berkas yang dilimpahkan oleh penyidik tersebut telah lengkap/ sempurna, penuntut umum segera melakukan proses PENUNTUTAN. Dalam proses ini, Jaksa Penuntut Umum melakukan klarifikasi kasus dengan mempelajari dan mengupas bahan-bahan yang telah diperoleh dari hasil penyidikan sehingga kronologis peristiwa hukumnya tampak lebih jelas. Hasil konkret dari proses penuntutan ini adalah "Surat Dakwaan" di mana di dalamnya terdapat uraian secara lengkap dan jelas mengenai unsur-unsur perbuatan terdakwa, waktu dan tempat terjadinya tindak pidana (locus dan tempus delicti), dan cara-cara terdakwa melakukan tindak pidana. Jelaslah bahwa dalam proses penuntutan ini, jaksa penuntut umum telah mentransformasikan "peristiwa dan faktual" dari penyidik menjadi "peristiwa dan bukti yuridis". Di samping itu, dalam proses penuntutan, penuntut umum juga menetapkan bahan-bahan bukti dari penyidik dan mempersiapkan dengan cermat segala sesuatu yang diperlukan untuk menyakinkan hakim atau membuktikan dakwaannya dalam persidangan nanti. Terhadap tindak pidana "penyertaan" (poeging) atau "concursus" (samenlop), penuntut umum dapat menentukan apakah perkara tersebut pemeriksaannya akan digabung menjadi satu perkara (voeging- Pasal 141 KUHAP) atau akan dipecah menjadi beberapa perkara (Pasal 142 KUHAP). 

Dengan melihat kualitas perkaranya, penuntut umum menentukan apakah perkara tersebut akan diajukan ke Pengadilan dengan cara "singkat" atau dengan cara "biasa". Jika Perkara tersebut akan diajukan dengan acara singkat, penuntut umum pada hari yang ditentukan oleh pengadilan akan langsung menghadapkan terdakwa beserta bukti-bukti ke sidang pengadilan. Namun jika perkara tersebut akan diajukan dengan acara biasa, penuntut umum segera melimpahkan perkara ke pengadilan negeri disertai dengan surat dakwaan surat pelimpahan perkara yang isinya permintaan agar perkara tersebut segera diadili (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). 

Sebelum melangkah pada pembahasan mengenai peradilan, sekilas akan dikemukakan mengenai proses "Praperadilan", yaitu wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan, demi tegaknya hukum dan keadilan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan (Pasal 1 butir 10 KUHAP). prosedur dan tata cara pengajuan permohonan dan pemeriksaan perkara praperadilan selengkapnya dapat dipelajari pada Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. dari ketentuan tersebut tampak bahwa tata cara praperadilan mirip dengan peradilan perdata. 

Dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri ini, apa yang diajukan olek Jaksa Penuntut Umum (dakwaan, tuntutan, replik dan lain-lain) atau oleh terdakwa/ penasihat hukum (eksepsi, pembelaan, duplik, dan lain-lain) beserta semua bukti yang diajukan, diperiksa oleh Majelis Hakim dan dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.

Terhadap putusan tersebut semua pihak diberi kesempatan untuk menyatakan sikap : menerima, pikir-pikir, atau akan mengajukan upaya hukum, atau akan mengajukan grasi. 

Jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde), putusan tersebut dapat segera dilaksanakan (di-eksekusi). Pelaksana EKSEKUSI putusan pengadilan dalam perkara pidana adalah Jaksa. Jika amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa bebas atau lepas, dan status terdakwa berada dalam tahanan, maka terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan dan dipulihkan hak-haknya kembali seperti sebelum diadili. Namun, jika amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa dipidana perampasan kemerdekaan (penjara/ kurungan), Jaksa segera menyerahkan terdakwa ke Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) untuk menjalani hukuman dan pembinaan. 

Semoga bermanfaat 🔥👍


Baca juga :Kasus-pembagian-harta-bersama-dan-penyelesaiannya-lihat-ulasannya.

Labels: