Saturday, 18 June 2022

Pembahasan tentang kawin siri menurut hukum tertulis dan keabsahannya


Menurut KBBI, Nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin/ P3N dan saksi namun tidak melalui Kantor Urusan Agama. Modin/ P3N sendiri memiliki tugas mengadakan pencatatan pengurusan kematian serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kematian, pendataan, pencatatan tentang nikah, talak, rujuk, dan cerai. Sehingga, pernikahan tersebut sudah sah menurut agama Islam. Namun, status pernikahannya tidak tercatat oleh negara dan kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) tidak akan mendapatkan buku nikah resmi atas pernikahan tersebut. 

Nikah siri merupakan perkawinan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. berdasarkan Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 sebagai peraturan tentang pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan bagi penganut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat dengan tata cara pencatatan. dalam hal ini nikah dibawah tangan atau nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas pencatat nikah dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Baca juga : Melihat-lebih-jelas-aturan-penarikan-kendaraan-bermotor-saat-gagal-bayar.html

Ada beberapa faktor penyebab seseorang nikah siri:

  • Seseorang tidak memiliki biaya yang cukup untuk melaksanakan  nikah secara resmi, maka jalan keluar yang dipilih yakni nikah secara siri. dalam hal ini mereka berpandangan bahwa dengan mengeluarkan biaya yang cukup sedikit nikah bisa terlaksana, yang penting nikahnya sah secara agama. 
  • Seseorang berkeinginan untuk menghindari perbuatan zina. dengan pemikiran seperti ini dan dengan pengaruh faktor usia yang belum cukup umur untuk melaksanakan perkawinan menurut agama, maka mereka memilih untuk melaksanakan nikah siri, dengan alasan menghindari dari perbuatan dosa. 
  • Nikah siri dilaksanakan karena terjadinya kehamilan di luar nikah. mereka melaksanakan nikah siri ini dikarenakan pihak pria yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kehamilan diluar nikah. dan untuk menutupi rasa malu, maka mereka memilih untuk menikah siri. 
Lantas bagaimanakah kekuatan hukum kawin siri dalam perkawinan?

Dalam hal perceraian, dampak hukum yang timbul apabila salah satu pasangan menikah lagi atau meninggalkan pasangannya, maka pasangan lainnya (istri) tidak memiliki kuasa untuk melakukan apapun, atau dalam hal ini istri sulit mendapatkan hak atas harta bersama apabila suami tidak memberikannya, dan tidak dapat menuntut apapun dikarenakan pada dasarnya tidak memiliki hubungan yang sah dengan suami. dalam hal pewarisan, apabila ada warisan yang ditinggalkan oleh suami karena meninggal dunia, istri dan anak akan sulit untuk mendapatkan hak dari harta warisan. bahkan jika seorang suami berprofesi sebagai PNS istri maupun anak tidak berhak mendapatkan tunjangan apapun. 

Status pada anak yang lahir dari nikah siri menurut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Pasal 43 ayat (1) Perkawinan, bahwa anak yang lahir dari pernikahan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin. 
  • Apabila kelak seorang ayah meninggal dunia, sang anak juga tidak berhak menerima warisan apapun dari sang ayah, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UUP Jo. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI). 
  • Menurut Pasal 863 KUHPerdata,  menyatakan bahwa "Bila Pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah". Dalam arti bahwa apabila sang ayah tidak mengakui anak luar kawin tersebut, maka sang anak tidak akan mendapat waris. Namun, apabila anak luar kawin tersebut diakui oleh sang ayah, maka sang anak mendapat bagian 1/3 dari bagian yang seharusnya jika ia anak sah. 
Maka dari itu kawin siri bukan merupakan perkawinan yang sah, sesuai Pasal 2 UU Perkawinan. suatu perkawinan dianggap sah apabila perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 

Selanjutnya bagaimana prosesnya agar pernikahan siri tersebut menjadi sah secara hukum negara dan tercatat oleh negara? 

Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengajukan isbat nikah/ pengesahan nikah. dalam hal ini telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 sebagai berikut :
Ayat (1) : Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (P3N). 
Ayat (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat Nikahnya ke Pengadilan Agama. 
Ayat 3 Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: 
a.  Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974. 

Selanjutnya yang harus dilakukan terkait Isbat Nikah, seperti dalam Pasal 7 ayat (4) dijelaskan bahwa : "Yang berhak mengajukan permohonan Isbat Nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka. wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu". 

Berikut sedikit ulasan dari kami semoga bermanfaat dan bisa memberikan wawasan baru.


Sumber : 

UU Perkawinan No.1 Tahun 1974

Setiawan Eko,2016, Fenomena Nikah Siri Dalam Perspektif Sosiologi Hukum, Justicia Islamica, Ponorogo, Vol. 13 (1).

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home