Sunday, 23 January 2022

Sejarah organisasi Advokat indonesia


Di awal Kemerdekaan Negara RI kiprah profesi Advokat belum dianggap penting oleh rezim pemerintahan Orde Lama. Pada masa itu politik masih menjadi panglima, para advokat diam dan dianggap tidak bisa ikut melakukan revolusi. Dimasa itu pula sejarah mencatat peradilan saat itu masih relatif bersih dan berwibawa. Berbagai argumentasi yang melatarbelakangi lambatnya respon pemerintah terhadap pengaturan profesi advokat. Diantaranya terkait dengan tipe kepemimpinan Bung Karno pada masa orde lama, yang pernah mengatakan kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya di landraad Bandung 1930.

Berikut kutipan ucapan Bung Karno: “Mr. Sartono, aku pujikan segala usaha-usaha kamu, para advokat selalu berpegang teguh kepada UU. Mereka lebih kuat menganut cara menembus UU. Suatu revolusi menolak UU yang berlaku hari ini dan maju diatas basis meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk melancarkan suatu revolusi beserta kaum advokat dan pengacara. Adalah juga sulit untuk membangun pertahanan suatu revolusi dengan para advokat dan pengacara. Yang kami harapkan adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah yang akan kukerjakan” (Adnan Buyung Nasution, dalam VARIA ADVOKAT – Volume 03, Juni 2008)

Hingga kemudian pada tanggal 14 Maret 1963 berdiri “Persatuan Advokat Indonesia (PAI)” di Kota Solo, Jawa Tengah dan menjadi cikal bakal Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang resmi dibentuk pada tanggal 30 Agustus 1964. Keanggotaan PERADIN saat itu masih bersifat sukarela atau tidak ada paksaan bagi para Advokat untuk bergabung.

Masa Orde Baru

Entah bagaimana posisi politik para advokat PERADIN di masa peralihan kekuasaan tahun 1965 ? sehingga di awal kekuasaan Orde Baru tepatnya tahun 1966, PERADIN mendapat pengakuan dari Presiden Soeharto sebagai satu-satunya organisasi advokat Indonesia, Namun anehnya pada saat yang sama pula Pemerintah juga mulai mendorong Iahirnya organisasi advokat yang baru, antara lain Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum (LPPH), Pusat Bantuan & Pengabdian Hukum (Pusbadhi), Fosko Advokat (Forum Studi & Komunikasi Advokat), & Bina Bantuan Hukum (BBH).

Selanjutnya tahun 1980-an Pemerintahan Orde Baru mulai melaksanakan strategi untuk meleburkan PERADIN dengan organisasi advokat lainnya dengan alasan dan iming-iming untuk menyatukan para advokat dalam satu organisasi tunggal. Ketua Mahkamah Agung yang saat itu dijabat oleh Ali Said, membentuk Panitia 17 untuk melaksanakan Kongres Advokat Pertama atau Musyawarah Nasional (Munas) yang diselenggarakan pada tanggal 8-10 November 1985 dan akhirnya terbentuklah Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) pada tanggal 10 November 1985

Alasan Pemerintah untuk menyatukan para Advokat di dalam satu organisasi (IKADIN) menjadi isapan jempol, karena pada tahun 1987 Pemerintah sendiri kemudian mengizinkan didirikannya Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) sebagai wadah bagi pengacara praktik, dengan alasan adanya pengkotomian istilah “advokat” dan “pengacara praktik”.

Begitulah seterusnya, kemudian lahir beberapa organisasi advokat lainnya yang baru dibentuk berdasarkan praktik kekhususan, seperti Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) pada tahun 1988 dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) pada tanggal 4 April 1989, hingga kemudian pada tanggal 27 Juli 1990 terbentuk Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) sebagai akibat perpecahan dalam tubuh IKADIN.

Di tahun 1995 pemerintah memfasilitasi bagi ketiga organisasi advokat (IKADIN, AAI dan IPHI), dengan menyelenggarakan dua seminar di Jakarta, yang menghasilkan Kode Etik Bersama yang diadopsi oleh ketiga organisasi tersebut dan membentuk Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI) pada tahun 1996. FKAI itupun mencapai kemajuan yang signifikan sehingga pada tahun 1998 Mahkamah Agung menyetujui mengadopsi kode etik FKAI untuk dipergunakan pada seluruh pengadilan di Indonesia.

Masa Reformasi

Pasca kejatuhan rezim otoriter Orde Baru yang dikenal dengan sebutan “Reformasi”para advokat mulai berkumpul kembali untuk mendorong lahirnya UU Profesi Advokat dan memimpikan organisasi advokat yang independen, bebas dari campur tangan kekuasaan negara. Tujuh organisasi advokat di Indonesia yakni IKADIN, AAI, IPHI, SPI, HAPI, HKHPM, dan AKHI sepakat membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) versi pertama yang dibentuk pada tanggal 11 Februari 2002, sehingga Forum FKAI yang telah ada sebelumnya meleburkan diri ke dalam KKAI-versi Pertama.

KKAI-versi pertama inilah yang kemudian menyelenggarakan Ujian Pengacara Praktik pada tanggal tanggal 17 April 2002, Membuat Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) tanggal 23 Mei 2002 dan mendorong pengesahan RUU Profesi Advokat menjadi UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Setelah selesai dan berhasil melaksanakan tugasnya, KKAI-versi pertama dibubarkan dan kemudian dibentuk KKAI-versi Kedua pada tanggal 16 Juni 2003 oleh 8 (delapan) organisasi Advokat yang disebutkan dalam Pasal 32 ayat (3) UU Advokat yakni IKADIN, AAI, IPHI, SPI, HAPI, HKHPM, AKHI dan terbaru adalah APSI.

KKAI-versi Kedua salah satu tugasnya untuk mempersiapkan pembentukan wadah tunggal organisasi profesi Advokat sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 28 ayat (1) UU Advokat, mengingat kesempatan yang diberikan untuk membentuk wadah tunggal organsiasi profesi advokat adalah paling lambat 2 tahun setelah disahkannya UU Advokat(Pasal 32 ayat (4) UU Advokat).

Awal terbentuknya PERADI

Untuk mengantisipasi daluarsanya pembentukan wadah tunggal yang diamanatkan oleh Pasal 32 ayat (4) UU Advokat dan menindaklanjuti hasil pelaksanaan tugas dari KKAI-versi Kedua, maka 8 (delapan) organisasi Advokat yang disebutkan dalam Pasal 32 ayat (3) UU Advokat yang diwakili oleh masing-masing Dewan Pimpinan Nasional. Untuk pertama kali mendeklarasikan terbentuknya wadah tunggal organisasi Advokat bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada tanggal 21 Desember 2004 yang di-launching oleh pengurusnya pada tanggal 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta.

Tindak lanjut dari Deklarasi tersebut kemudian dibuat Pernyataan Pendirian PERADI di hadapan Notaris BUNTARIO TIGRIS DARMAWAN NG (Akta No.30 Tanggal 08 September 2005) yang ditandatangani oleh masing-masing Ketua dan Sekjen dari 8 (delapan) organisasi Advokat yang disebutkan dalam Pasal 32 ayat (3) UU Advokat,

Selanjutnya sejak tahun 2008, PERADI mulai diwarnai perpecahan, beberapa pengurus PERADI menyatakan keluar dan membentuk Kongres Advokat Indonesia (KAI) pada bulan Mei 2008 yang dalam perjalannya juga mengalami perpecahan. Konflik PERADI terus berlanjut pasca pelaksanaan Munas II di Makassar tahun 2015 lalu yang berakhir ricuh dan Munas Pekanbaru, yang menghasilkan 3 (tiga) kubu PERADI.

Terlepas dari dinamika konflik tersebut, kita harus tetap mengupayakan dan mendorong agar Organisasi Advokat di Indonesia benar-benar independen dan optimal dalam menjalankan seluruh fungsinya (sesuai UU Advokat dan Standar Organisasi Profesi Hukum IBA, 1990) serta aktif mendorong terwujudnya negara hukum yang berdasarkan HAM dan Konstitusi.

Bukan sekadar mengumpulkan keuntungan finansial melalui perekrutan anggota sebanyak-sebanyaknya dan pemungutan biaya registrasi ulang, tanpa memperhatikan standar kualitas dan etika serta abai terhadap kewajiban peningkatan kapasitas dan profesionalisme anggotanya serta tidak tegas terhadap berbagai pelanggaran kode etik profesi.


Sumber Bacaan:
• Binziad Kadafi dkk, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, PSHK, Jakarta, 2001.
• IBA Standards For The Independence Of The Legal Profession, diunduh dari http://www.ibanet.org/Document/Default.aspx…;
• Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, Yogyakarta: Libery, 1989;
• Nasution, Hasanuddin, Mewujudkan Organisasi Advokat yang Mandiri dan Profesional, Makalah Juli 2005.
• PERADI, Kitab Advokat Indonesia, Bandung, 2007;
• V. Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, Jakarta: Erlangga, 2011;
• VARIA ADVOKAT – Volume 04, Juli 2008

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home