Monday, 13 December 2021

Alasan-alasan penyebab bubarnya perkawinan atau perceraian




Dalam hukum islam bubarnya perkawinan atau perceraian biasa disebut Talak. talak sendiri berasal dari kata Itlaq  yang berarti melepaaskan atau meninggalkan. dalam istilah agama talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. melepaskan ikatan perkawinan dalam artian membubarkan hubungan suami istri sehingga berakhirlah perkawinan atau terjadilah perceraian. perceraian hanya boleh dilakukan apabila mengandung kemaslahatan, perceraian setidaknya merupakan alternatif terakhir karena dalam perkawinan seharusnya tidak ada perceraian dan hanya kematian satu-satunya sebab alasan terjadinya perceraian suami istri. 

faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup dan sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya. munculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang mengubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan. 


A. PENGERTIAN 

Perceraian adalah salah satu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan hakim yang di daftarkannya pada catatan sipil. dengan adanya sebab tertentu berarti merupakan kebalikan suatu dari ketentuan undang-undang yang melarang perceraian dengan kesepakatan bersama. (Pasal 208 KUHPerdata). 


B. SYARAT-SYARAT PERCERAIAN

syarat perceraian tercantum dalam Pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu sebagai berikut : 

  • Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan sudah tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  • Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak ada hidup rukun sebagai suami istri. 
  •  Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

KUHPerdata dalam pasal 209 menentukan perceraian tidak boleh terjadi hanya karena permufakatan suami dan istri, namun harus ada alasan-alasan sah yang mendasarinya, alasan-alasan ini ada empat macam, yaitu:

  •  Zina 
  •  Ditinggalkan dengan sengaja 
  •  Penghukuman yang melebihi lima tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan
  •  Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa.

kemudian, Pasal 19 Peraturan Pemerintah 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawianan menambahkan alasan-alasan berikut: 

  • Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
  • Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 

C. TATA CARA PERCERAIAN

Perceraian dalam ikatan perkawinan merupakan sesuatu yang dibolehkan dalam ajaran agama Islam, terutama apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, kebahagiaan, namun tujuan perkawinan tidak akan terwujud sehingga yang terjadi adalah perceraian. 

tata cara perceraian, bisa dilihat dari subyek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian, dapat dibagi dalam dua aspek :

1. Cerai Talak (suami yang mengajukan untuk bercerai)

Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujui, hal ini diatur dalam Pasal 66 Undang-undang Perkawinan yang menyatakan sebagai berikut :

(1). Seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. 

(2). Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. 

(3). Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

(4). Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta Pusat.

(5). Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. 

Sesudah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan, kemudian Pengadilan melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut, sebagaimana tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam berikut ini : Pasal 68 KHI dan Pasal 131 KHI.

2. Cerai Gugat (istri yang mengajukan untuk bercerai)

Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke pengadilan, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya sehingga pengadilan mengabulkan permohonan dimaksud. sebagaimana disebutkan dalam Pasal 73 Undang-undang perkawinan.

mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan adalah sebagai berikut: 

  • Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti Penggugat (istri) cukup menyampaikan salinan keputusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74 UU Perkawinan). akan tetapi, jika gugatan diajukan atas alasan tersebut ternyata putusan pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap, dikatakan masih terlampau prematur. artinya, belum saatnya alasan tersebut dapat diajukan sebagai dasar gugat perceraian. Penggugat harus sabar menunggu sampai putusan pidana mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak diterima. 

D. AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN

Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat dari berbagai ketentuan, baik yang tercantum dalam KUHPerdata, Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974) maupun yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu sebagai berikut: 

  1. Akibat Talak, ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan Pasal 149 KHI, yang pada intinya menentukan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, bekas suami wajib : a. memberikan mut'ah  (sesuatu) yang layak pada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.
  2. memberi nafkah, makan, dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nuzyuz dan dalam keadaan tidak hamil.. 
  3. melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul.
  4. memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.

E. AKIBAT PERCERAIAN (CERAI GUGAT)
Cerai gugat, yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan yang dimaksud sehingga perkawinan jadi bubar. 
pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian. hal itu diungkapkan sebagai berikut. 
  1. anak  yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, kedudukan diganti oleh: wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu, ayah, wanita-wanita dalam garis lurus ke atas ayah, saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping ibu, wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
  2. anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapat hadanah dari ayah atau ibunya.
  3. apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang memiliki hak hadanah pula.
  4. semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
  5. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, putusan hadanah haruslah berdasarkan huruf/poin (a), (b), (c), dan (d). 
  6. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut kepadanya.
Semoga bisa bermanfaat kawan, jangan sungkan untuk berkomentar di kolom yang sudah tersedia.


sumber : Hukum Keluarga, Menurut Hukum Positif di Indonesia
                H, Zaeni Asyhadie, S.H., M.Hum.
                Sahruddin, S.H., M.H.
                Lalu Hadi Adha, S.H., M.H.
                H. Israfil, S.H., M.Hum.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home